Melawan Terorisme dengan Buku
OLEH: MOH YAMIN
Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Penulis Buku-buku Pendidikan
Menjalani kehidupan adalah untuk berbagi
kebaikan dan kebajikan. Bukan sebaliknya, justru menebar ketakutan, kegelisahan
publik, dan lain sejenisnya. Mereka yang telah dibangun dengan berpikir buruk
dan destruktif sesungguhnya telah kehilangan kemawasan diri serta kesadaran
diri untuk membaca kehidupan yang pluralitas, dimana keberagaman adalah hal
niscaya.
Buku yang didesain indokrinatif akan melahirkan cara berpikir para pembacanya
dengan berpikir indoktrinatif. Ini adalah realitas yang selama ini nyata di
hadapan kita semua. Mereka yang menjadi pelaku bom bunuh diri atau teroris
lahir dan dilahirkan dari aktivitas membaca buku-buku yang mengajak perang,
mengangkat senjata kepada siapapun dan pihak manapun yang tidak sejalan dan
sevisi dengan dirinya.
Mereka yang menjadi perusak toleransi dan melakukan tindakan-tindakan
intoleransi sebenarnya bermunculan karena digembleng dari aktivitas membaca
buku-buku yang sesat berpikir. Khazanah berpikir mereka keluar dari cara
pandang pluralis, menafikan pluralitas, menganggap kelompok lain yang tidak
sama sebagai golongan yang harus dihancurkan, dibinasakan, dan dibumihanguskan.
Kondisi ironis semacam ini sangat jelas menjadi
acaman bagi pembangunan bangsa yang berperadaban tinggi. Visi pembangunan
manusia yang beradab dan bangsa beradab menjadi terancam.
TINDAKAN terorisme, anarkisitas publik, dan lain sejenisnya merupakan wajah
kelam kehidupan berbangsa dan ini layak disebut sebagai hilangnya keadaban
publik. Mereka yang tiap saat terjebak dalam suasana saling membunuh atau
melakukan bunuh diri atas nama kepentingan kebiadaban publik sebetulnya menjadi
wajah buruk tentang mental manusia yang sangat kejam dan sadis.
Mengutip pendapat Frithjof Schuon
(1901-1998), manusia sudah kehilangan nalar sosial profetik. Berkehidupan itu
sesungguhnya bernilai tinggi ketika saling menguatkan, memberikan azas kebaikan
bagi semua dan sesama.
Tiap keberagaman tidak bisa dijawab
dengan keseragaman. Mereka yang masih hidup di alam kegelapan aksi bunuh diri
dan lain sejenisnya mempertahankan sikap sedemikian dapat disebut sebagai
kelompok yang tidak mau dan tidak pernah belajar untuk hidup damai dengan orang
lain.
Membaca untuk mengenal dan memahami
yang lain tidak lagi menjadi panutan dan pedoman. Membaca untuk menjadi orang
yang bijaksana dan arif tidak dilakoni dengan sedemikian rupa. Umumya, mereka
yang berpikir benar-salah, hitam-putih, masuk sorga-neraka, dan begitu
seterusnya adalah refleksi dari kebiasaan membaca buku-buku indoktrinatif yang
kemudian membutakan diri terhadap realitas bahwa melebur dengan kehidupan
realitas harus mampu membangun toleransi antarsesama secara utuh.
Kita tidak bisa memaksakan diri dan
merasa diri sebagai yang paling benar dan paling suci. Akibat membaca buku-buku
yang beraliran keras, ekstremis, dan indoktrinatif, maka di sinilah konflik
keberkehidupan mulai muncul dan menjadi benih masalah laten yang tiap saat
dapat merusak dan menghancurkan kohesitas sosial.
Menekan Terorisme
Padahal bangsa dengan peradaban
tingginya selalu mengajak seluruh elemen bangsanya agar menjadi pribadi-pribadi
yang hidup damai, menguatkan misi perdamaian di ruang dan aras pluralitas.
Kita semua yang merasa sebagai bangsa
yang masih memiliki komitmen kebangsaan kemudian perlu bergerak untuk
mengampanyekan urgensi literasi buku-buku toleransi, yang mengajarkan kebaikan
dan kebajikan.
Atmosfir membaca buku-buku untuk
mendidik bangsa dan warga agar menjadi manusia-manusia yang berpandangan
konstruktif perlu dihidupan secara intensif. Salah satu bentuknya adalah
membaca karya-karya besar berbentuk buku sebagai pusat peradaban bangsa untuk
melahirkan cara berpikir yang baik dan bijakmenjadi mendesak untuk
dilaksanakan. Kampanye membaca buku yang mengajarkan kebaikan, kebajikan, amal
baik serta amal sholeh terhadap sesama perlu diintensifkan.
Menggalakkan Atmosfir Buku Toleransi
Salah satu pusat peradaban bangsa ditentukan oleh seberapa banyak buku yang
sudah ditulis dan dihasilkan oleh warganya. Buku menjadi refleksi dan cerminan
atas tingkat kekuatan pengetahuan dan pemikiran warga terhadap bangsanya.
Makin banyak buku
yang dihasilkan dari sebuah hasil refleksi diri dan pemikiran, ini menunjukkan
ada dinamika dalam pembangunan kemanusiaan. Ketika warga sebuah bangsa mampu
menampilkan pelbagai pemikirannya yang mampu meningkatkan peradabannya, ini
berarti bahwa ke depan bangsanya akan terus mengalami kemajuan luar biasa.
Indikator pembangunan
manusia tercermin dari bagaimana warga manusianya berpikir, menata
pemikirannya, mengaktualisasikan gagasannya di ranah konkret, memberi
kontribusi kebajikan bagi semua serta sesama.
Buku sangat jelas memberikan ilustrasi tentang visi warganya ke depan,
pandangan jauh ke depan tentang kehidupannya dan tatanan kehidupan
berbangsanya. Oleh sebab itu, sebagai sebuah karya nyata warga bangsa, ini
menjadi dasar menjalankan kehidupan yang penuh dengan toleransi, memberikan
efek bagi kondusivitas pembangunan, tidak akan pernah ada konflik dan
pertengkaran sebab setiap buku sudah meletakkan dasar berpikir dan pemikiran
tiap warganya untuk berada dan tegak berdiri untuk memperjuangkan kepentingan
bangsa di atas kepentingan sektoral.
Buku kebajikan dan kebaikan yang dibaca, yang dikaji,
dan menjadi dasar bersikap, berpikir, dan bertindak bagi setiap warganya akan
menuntun mereka untuk menghargai perbedaan dan keberagaman. Oleh sebab itu, ada
dua pendekatan yang perlu dilakukan dalam rangka menghidupkan atmosfir
buku-buku toleransi.
Pertama, mengajak masyarakat untuk
terlibat-berinteraksi dengan buku-buku toleransi adalah hal niscaya. Ada
kelompok-kelompok masyarakat madani yang memfasilitasi masyarakat umum untuk
melakukan kajian-kajian semacam itu dengan cita rasa ringan dan santai.
Mengubah cara pandang masyarakat agar menjadi
berpandangan toleran tidak bisa dilakukan seperti ibarat membalikkan telapak tangan,
namun setidaknya dengan menjadikan fakta atas sejumlah preseden buruk terorisme
sebagai wajah tindakan intoleran menjadi wajib dijadikan tamsil. Ini menjadi
bagian dari proses penyadaran diri bahwa sesungguhnya akibat berpikir ekstrim
justru merusak dan merugikan kepentingan publik.
Kedua, perlunya kelompok masyarakat madani, termasuk
di dalamnya mereka yang berasal dari perguruan tinggi untuk terlibat melahirkan
buku-buku, tulisan-tulisan, dan lain sejenisnya yang mengampanyekan urgensi
toleransi demi memupuk kehidupan damai.
Buku adalah sumber pengetahuan yang dapat menjadi
cahaya terang bagi kehidupan manusia. Buku memedomani perjalanan kehidupan
manusia. Buku menggerakkan kehidupan manusia, memuat mimpi-mimpi dan
pesan-pesan pembangunan sehingga kita semua sudah selayaknya meletakkan
pentingnya buku-buku toleransi demi menyelamatkan bangsa ini dari ancaman
kehancuran.
Karenanya, sebagai bangsa besar, kita perlu menyamakan
pandangan dan persepsi bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan tetap
utuh ketika seluruh warganya memiliki komitmen yang sama terhadap keutuhan NKRI
itu sendiri.
Mari kita perkuat NKRI dengan menjadikan buku-buku
toleransi sebagai kekuatan spiritual pembangunan kehidupan berbangsa. Mari kita
bakar buku-buku yang mengajarkan kekerasan, intoleransi, permusuhan atas nama
apapun dan kepentingan apapun sebab buku-buku sedemikian sesungguhnya menjadi
penyakit laten bagi kehidupan berbangsa kita.
Artikel ini telah tayang di banjarmasinpost.co.id dengan judul
Melawan Terorisme dengan Buku (Refleksi Hari Buku Nasional 17 Mei 2018), http://banjarmasin.tribunnews.com/2018/05/16/melawan-terorisme-dengan-buku-refleksi-hari-buku-nasional-17-mei-2018?page=2.
Menjalani kehidupan adalah untuk berbagi kebaikan dan kebajikan. Bukan sebaliknya, justru menebar ketakutan, kegelisahan publik, dan lain sejenisnya. Mereka yang telah dibangun dengan berpikir buruk dan destruktif sesungguhnya telah kehilangan kemawasan diri serta kesadaran diri untuk membaca kehidupan yang pluralitas, dimana keberagaman adalah hal niscaya.
Buku yang didesain indokrinatif akan melahirkan cara berpikir para pembacanya dengan berpikir indoktrinatif. Ini adalah realitas yang selama ini nyata di hadapan kita semua. Mereka yang menjadi pelaku bom bunuh diri atau teroris lahir dan dilahirkan dari aktivitas membaca buku-buku yang mengajak perang, mengangkat senjata kepada siapapun dan pihak manapun yang tidak sejalan dan sevisi dengan dirinya.
Mereka yang menjadi perusak toleransi dan melakukan tindakan-tindakan intoleransi sebenarnya bermunculan karena digembleng dari aktivitas membaca buku-buku yang sesat berpikir. Khazanah berpikir mereka keluar dari cara pandang pluralis, menafikan pluralitas, menganggap kelompok lain yang tidak sama sebagai golongan yang harus dihancurkan, dibinasakan, dan dibumihanguskan.
Kondisi ironis semacam ini sangat jelas menjadi acaman bagi pembangunan bangsa yang berperadaban tinggi. Visi pembangunan manusia yang beradab dan bangsa beradab menjadi terancam.
Menggalakkan Atmosfir Buku Toleransi
Salah satu pusat peradaban bangsa ditentukan oleh seberapa banyak buku yang sudah ditulis dan dihasilkan oleh warganya. Buku menjadi refleksi dan cerminan atas tingkat kekuatan pengetahuan dan pemikiran warga terhadap bangsanya.
Buku sangat jelas memberikan ilustrasi tentang visi warganya ke depan, pandangan jauh ke depan tentang kehidupannya dan tatanan kehidupan berbangsanya. Oleh sebab itu, sebagai sebuah karya nyata warga bangsa, ini menjadi dasar menjalankan kehidupan yang penuh dengan toleransi, memberikan efek bagi kondusivitas pembangunan, tidak akan pernah ada konflik dan pertengkaran sebab setiap buku sudah meletakkan dasar berpikir dan pemikiran tiap warganya untuk berada dan tegak berdiri untuk memperjuangkan kepentingan bangsa di atas kepentingan sektoral.
Komentar
Posting Komentar